Kritik Cerpen Sorot Mata Syaila Karya M. Shoim Anwar
Di Bandara Internasional Abu Dhabi, pukul
satu dini hari, detak jantungku makin kencang. Pipi perempuan itu
perlahan-lahan menyentuh pundakku. Terasa makin dekat dan hangat. Mulanya dia
masih berusaha menegakkan kepalanya kembali beberapa kali, tapi makin lama
kesadarannya makin menipis. Pipi itu akhirnya benar-benar menempel dengan
pasti. Sebuah penyerahan yang lembut. Ujung hijabnya menyentuh hidungku. Terasa
ada aroma parfum Alfa Zahrah. Gaun panjang terusan warna hitam yang dikenakan, abaya, ikut meluruh ke tubuh kiriku.
Aku tak berani bergerak. Ada baiknya
berdiam agar dia tak terbangun dengan tiba-tiba. Ini pasti di luar
kesadarannya. Malam telah melarut dan payah pun membalut. Hembus napasnya
terdengar makin teratur. Tangan perempuan itu menyilang di pangkuannya. Lengan
bajunya mengingsut naik. Bulu-bulu panjang tampak tumbuh merebah di lengan.
Kulitnya bersih dan cerah membuat bulu-bulu itu tampak dari pangkal tumbuhnya
hingga ujung. Sementara kuku-kukunya dipotong agak meruncing, warnanya merah
muda seperti buah kurma menua di pohonnya.
Di negeri Uni Emirat Arab ini aku mesti
berganti pesawat. Enam jam para penumpang harus menanti. Penerbangan masih
harus kutempuh sekitar sembilan jam lagi dengan maskapai Etihad Airways nomor
penerbangan EY 474. Jarak masih membentang sekitar 5.594 km lagi. Para
penumpang, baik yang transit maupun baru, memenuhi lantai dua. Mereka menanti
jadwal masing-masing. Kursi-kursi telah penuh. Sebagian penumpang, sepertinya
para pembantu rumah tangga, duduk di lantai. Perempuan yang bersandar di
pundakku makin nyaman dalam tidurnya. Beberapa orang sepertinya tersenyum
ketika melihat pemandangan itu.
Aku duduk di deretan kursi menghadap ke Sky Bar
dan gate7-8. Lorong menuju ke toilet ada di depan sana. Perempuan
itu mulanya mondar-mandir mencari tempat duduk sambil menyeret koper kecil
warna cokelat. Sudah beberapa kali dia lewat sambil melihat tempat duduk di
dekatku. Kebetulan kursi di sebelah kiriku agak longgar. Aku merasa harus
berbagi. Akhirnya aku mengingsut dan mempersilakannya duduk.
Awalnya aku merasa ragu. Maklum di
belahan dunia Arab antara laki-laki dan perempuan umumnya dipisahkan dengan
ketat. Tapi ini di Abu Dhabi, bukan Kota Suci Makkah atau Madinah yang
memerlukan waktu sekitar dua jam dengan pesawat ke sana. Meski awalnya aku tak
yakin, perempuan itu akhirnya duduk di sebelahku. Aku membantu menata koper di
depannya.
“Syukran,” dia mengucapkan terima kasih.
Beberapa saat aku mencoba menyesuaikan. Laki-laki tua
berjenggot panjang di sebelah kirinya juga mengingsutkan duduknya. Sementara
lelaki berkulit gelap di sebelah kananku tetap menyandarkan kepalanya di kursi,
mendongak dengan mata tertutup dan mulutnya membuka seperti buaya memasang
perangkap agar ada mangsa yang masuk. Orang-orang yang duduk ber deret di kursi
depan sudah tidak lagi memperhatikan. Kaki mereka kembali berselonjor. Beberapa
saat situasi pun tenang kembali.
“Ismii Matalir,” aku memperkenalkan na ma ku.
Bukan nama resmi, tapi nama panggilan waktu kecil.
Perempuan itu memandangku. Mungkin dia
merasa aneh mendengarnya.
“Maasmuka? Mat…alir?”
Aku mengangguk.
“Ana
min Indonesia,” aku melanjutkan. Dia
tersenyum dan manggut-manggut. Beberapa saat aku masih memandang ke arahnya.
Perempuan muda itu berhidung mancung dan beralis tebal. Kulit mukanya cerah
dengan bibir mengilat semu merah. Bulu-bulu lembut di atas bibirnya menguat
meski tampak samar.
“Ilaa ayn tadzhab?” aku bertanya ke mana dia pergi.
“Pakistan.”
Kami saling tersenyum. Koper di depannya aku rapikan
lagi agar tidak menghalangi orang lewat. Kami berbasa-basi beberapa saat. Dia
lalu melihat-lihat telepon selulernya, kemudian menoleh ke arahku kembali.
“Wa
anti maasmuki?” aku tanya namanya, meski sadar itu
terlalu bernafsu. Dia tak segera menjawab. Aku tetap memandangnya.
“Syaila,” jawabnya kemudian. Nama itu
terdengar indah di telingaku. Artinya adalah kobaran api.
Perempuan dari segala penjuru dunia memang boleh
datang ke Abu Dhabi. Mereka tidak sedikit yang memakai celana pendek dan kaus
oblong. Agak kontras dengan mereka yang memakai cadar. Perempuan muda berhijab
dengan wajah terbuka juga lazim dijumpai. Para pramugari milik negeri ini malah
memakai span ketat di atas lutut dan baret dengan rambut terbuka. Meski tidak
bercadar, pakaian Syaila bagiku sudah nyaris sempurna menutup tubuhnya.
Syaila menanyakan nama maskapai dan kota
tujuanku. Dia tahu kalau pesawatku akan take off lebih
dulu dibanding dia. Lama-lama pembicaraan kami mulai jarang. Bukan bahan
omongan yang mulai habis, tapi bahasa Arabku yang kedodoran sehingga tak bisa
mengungkapkan apa yang akan kukatakan. Rasa kantuk mulai menyerang. Detik-detik
inilah aku mengetahui Syaila juga mulai di se rang kantuk.
Sekarang aku berpikir persoalanku sendiri. Aku
berharap penerbanganku terlambat, bila perlu ditunda dalam waktu yang panjang.
Alasan melaksanakan ibadah ke Tanah Suci dan ziarah ke makam nabi-nabi sudah
kulalui. Semua itu aku lakukan untuk memperlambat proses hukum sambil mencari
terobosan lain, termasuk sengaja tidak hadir saat dipanggil untuk diperiksa penyidik.
Perkara ini tidak melibatkan aku seorang diri. Seluruh
keluarga, istri dan anak-anak, juga diperiksa karena diduga teraliri dana dalam
bentuk kepemilikan saham perusahaan. Si alan, seorang teman anggota parlemen
yang menjadi terdakwa “menyanyi” saat di persidangan, termasuk mengungkap
liku-liku pemenangan tender yang telah kami skenariokan untuk perusahaan
keluarga. Pengakuan itu bahkan telah masuk dalam berita acara peme riksaan
alias BAP. Jumlah kerugian uang negara juga telah disebut.
Ketika beberapa kali disidik oleh pihak kepolisian,
aku dapat bocoran bahwa statusku yang semula saksi sudah ditingkatkan menjadi
tersangka. Ada yang mengatur agar statusku tidak bocor ke publik. Pada saat
itulah aku dengan cepat melarikan diri keluar negeri. Tentu saja dengan
beberapa skenario yang sudah kupersiapkan sejak kasusku mulai diungkap. Semua
keluarga sudah diskenario agar satu suara, bila perlu bungkam.
Nanti, ketika berkas perkaraku dilimpahkan ke
kejaksaan untuk dibuat tuntutan, aku dapat informasi bahwa statusku sebagai
tersangka mau tak mau akan terbuka di kejaksaan. Pun sudah ada yang memberi
tahu bahwa kejaksaan akan meminta pihak imigrasi untuk mencekal aku pergi ke
luar negeri. Dan benar, ketika berita ramai tersiar bahwa aku dicekal, posisiku
sudah di luar negeri. Inilah enaknya punya jaringan khusus di lembaga
peradilan. Aku merasa sedikit beruntung kasusku ditangani mereka. Andai yang
menangani KPK, mungkin aku sudah meringkuk di sel.
Bagiku, pergi melakukan ibadah ke Tanah Suci jauh
lebih baik daripada pura-pura sakit ketika diproses secara hukum. Aku toh
berdoa sungguh-sungguh. Berita-berita dari tanah air menyatakan bahwa aku buron
sehingga beberapa lembaga antikorupsi ikut menempel posterku di tempat-tempat
umum. Tapi biarlah orang lain mau bilang apa. Setiap orang punya cara
sendiri-sendiri. Termasuk minta diselimuti dan diinfus di rumah sakit kayak
orang mau mati. Pura-pura kecelakaan nabrak tiang listrik juga biarlah.
Pura-pura mencret akut saat sidang juga ada.
Pengacara yang kusewa dengan harga mahal pasti sudah
memberi penjelasan panjang lebar sesuai permintaanku, termasuk mengajukan
praperadilan. Ibarat pesta biskuit, dia telah kutaburi remah-remahnya yang
tersisa di kaleng. Sambil menikmati rontokan biskuit dia bicara tak henti-henti
membelaku, seperti anjing yang sangat setia melindungi tuannya.
Kembali aku melihat-lihat ke sekitar. Arsitektur
bandara ini membuatku serasa bernaung di bawah pohon kurma raksasa. Pilar
tunggal yang besar berada di tengah dari lantai satu hingga lantai dua. Ujung
pilar itu mekar menyerupai daun-daun kurma dan sekaligus membentuk
langit-langit secara melingkar dengan motif ornamen segi enam. Stan-stan
penjual makanan ringan, minuman, dan sovenir juga ditata melingkar. Di bawah
pilar dipajang dagangan sebangsa parfum, alat kecantikan, jam tangan, serta
perhiasan dengan harga mahal.
Malam telah bergeser ke dini hari. Orang-orang seperti
membeku di kursinya. Kepala Syaila bergerak-gerak. Sepertinya perempuan itu
mulai terbangun. Terdengar desah napasnya disertai lenguh yang lembut. Perlahan
dia mengangkat kepala dari pundakku. Dia berkedip-kedip melihatku agak lama.
Seperti meyakinkan sesuatu yang telah lama hilang. Ekspresinya datar. Aku pun
menatapnya. Tanpa bicara apa-apa.
Tangan kanan Syaila perlahan merambat ke pegangan
koper. Sambil tetap melihatku, dia bangkit. Matanya berkedip-kedip. Koper itu
didorongnya ke depan, lalu melangkah. Beberapa detik setelah itu dia berhenti.
Pandangannya masih diarahkan kepadaku. Syaila mengangguk. Mungkin sebagai
isyarat pamit. Aku pun mengangguk. Posisi kopernya berganti di belakang.
Perempuan itu melangkah lagi. Ada rasa kehilangan melepas kepergiannya.
Baru beberapa langkah berjalan, Syaila kembali
membalikkan pandangan. Dia mengangguk. Aku membalas. Tapi dia tak segera beranjak.
Seperti ada isyarat lain untukku. Aku pun berdiri. Syaila melangkah lagi. Ada
kegamangan dalam diriku. Kali ini aku mulai menangkap maksudnya saat perempuan
itu kembali menoleh dan mengangguk dua kali. Aku berjalan ke arahnya. Syaila
melanjutkan langkah ketika mengetahui aku mengikuti. Terasa ada dorongan yang
makin kuat. Aku meniti di belakang langkahnya.
Syaila menuruni tangga ke lantai satu. Aku membuntut.
Dia berbelok ke kiri, menuju ke lorong yang makin sepi karena stan-stan di
kanan kiri semuanya tutup. Suasana bertambah senyap. Sesekali perempuan itu
menoleh ke arahku dan mengangguk. Sebuah isyarat agar aku terus mengikuti.
Lampu-lampu makin meredup. Bunyi sepatu perempuan itu makin jelas. Detaknya
memantul ke dinding-dinding lorong yang makin panjang. Abaya hitam yang
dikenakan membuatnya makin samar dalam keremangan.
Sampai di pertigaan Syaila berhenti sejenak. Dia
menoleh ke kiri dan kanan. Ketika jarak antara kami tinggal dua tiga langkah,
perempuan itu berbelok ke kanan dan mempercepat langkahnya. Aku seperti
tersedot mengikuti arusnya. Ternyata ini bukan lantai terakhir. Di ujung lorong
ada tangga ke bawah. Dengan langkah makin cepat Syaila meluncur turun. Udara
terasa makin pengap dan bau apak mengambang. Lantai tak lagi rata. Di sana-sini
ada bekas genangan air. Kesenyapan hampir sempurna membalut. Detak sepatu itu
terdengar makin cepat.
“Syaila…,” aku memanggil. Dia menoleh
sejenak dan mengangguk. Langkahku makin cepat karena harus mengikutinya.
Suasana makin meredup, tinggal satu dua lampu yang tersisa di kejauhan sana.
Ada kelepak melintas di depanku. Tubuh Syaila makin samar dibalut remang.
Seperti ada kekuatan yang menyedot langkahku untuk terus mengalir. Pantulan
detak sepatu Syaila makin menggema dari sudut ke sudut. Lorong ini terasa makin
sempit dan berkelok-kelok menyerupai labirin.
“Syaila…,” aku menyeru. Tubuh perempuan
itu makin menghablur. Yang kudengar kembali adalah gema suaraku yang
memantul-mantul makin keras. Lorong semakin berliku-liku. Syaila tampak seperti
bayangan melayang-layang dalam remang. Tiba-tiba ada kabut dingin yang datang.
Kembali kuseru nama Syaila. Dalam keremangan samar-samar tampak dia menoleh dan
berhenti. Aku melihat bola mata perempuan itu merona dalam kegelapan, berpendar
mengeluarkan cahaya kebiruan. Seperti sepasang mata kucing hitam saat di sorot
cahaya di kegelapan.
Kembali aku menyeru. Tapi suaraku seperti tercekat di
tenggorokan. Sorot sepasang mata Syaila makin kuat menembus kabut. Seperti juga
seekor kucing hitam, sosok itu melayang dan menyambarku. Aku terjatuh.
Tengkurap di lantai lorong yang basah. Ada bunyi kelepak yang datang menyerbu.
Makin riuh di telingaku. Aku membeku.
Beberapa saat kemudian lamat-lamat ganti terdengar
suara merintih-rintih memanggilku. Aku berusaha merayap mendekat. Kata-kata
“papa” yang disuarakan makin jelas. Sepertinya ada beberapa suara yang
memanggilku. Semuanya merintih dengan nada kesakitan.
Lorong ini bukan saja basah, tapi semakin becek dan
pesing. Ada tetesan air dari pipa di langit-langit. Aku merayap terengah-engah.
Tampak seberkas cahaya di sana. Sampai di tikungan lorong aku mendongak. Cahaya
menyorot ke sana. Ah, aku terkejut! Aku melihat istri pertama beserta kedua
anakku digantung. Leher mereka dijerat, kaki dan tangannya diserimpung seperti
kepompong. Di sebelah mereka aku juga melihat hal yang sama. Istri keduaku
beserta dua anaknya juga mengalami hal serupa. Dua orang istri dan empat orang
anakku bergelantungan tak berdaya. Seperti menunggu ajal yang segera tiba,
mereka merintih-rintih kesakitan.
Aku berusaha meyakinkan diri. Ini bukan mimpi atau
sekadar ilusi. Di lorong terdalam Bandara Internasional Abu Dhabi, aku tak
berdaya menolong istri-istri dan anak-anakku yang sekarat menghadapi maut.
Mereka digantung seperti kambing habis disembelih untuk dikuliti. Barangkali
ini adalah ujung dari hidup kami semua. Aku ingin meronta, tapi suaraku
tercekat di tenggorokan. Kaki dan tanganku pun terserimpung di lantai lorong
yang becek dan pesing.
Lalu di manakah Syaila? Perempuan itu telah melenyap
bersama gelap. Sosoknya menghilang tanpa bayang. Sebagai kucing hitam, dia
membenam dalam kelam. Aku tersuruk di sini. Menatap kedua istri dan empat
anakku yang hampir beku. Seluruh tubuhku juga kaku dan beku. Kelepak itu pun
datang kembali bertubi-tubi, terbang mengitari tubuhku untuk dimangsa inci demi
inci. ***
Abu Dhabi-Surabaya, 1 Januari 2018
Cerpen ini
menceritakan tentang seorang tersangka korupsi yang melarikan diri ke luar
negeri untuk menunda proses hukum. Pada cerpen ini penulis seperti ingin
menyampaikan pesan bahwa setiap perbuatan ada balasannya.
Hal ini semakin
terlihat jelas pada saat adegan tokoh utama mengikuti Syaila ke dalam lorong
yang gelap. Di sanalah tokoh utama yang tersangka koruptor seperti
diperlihatkan balasannya oleh Tuhan. Semua orang yang ia sayangi menderita
digantung, dan dirinya sendiri juga mendapat perlakuan sama, bahkan lebih parah
ditambah dengan serangan kelepak.
Mata Syaila
yang terus memandangi tokoh utama dan memberi isyarat agar tokoh utama
mengikutinya adalah sebuh gambaran bahwa segala perbuatan akan diawasi dan
dilihat oleh Yang Mahamelihat.
Secaara
keseluruhan, cerpen ini sangat menarik dan mudah dipahami alurnya. Keunggulan
dari cerpen ini adalah kemampuan penulis dalam mendeskripsikan setting sehingga
pembaca dapat langsung membangun imajinasinya sendiri mengenai situasi Bandara
Internasional Abu Dhabi melalui narasi-narasi dalam cerpen ini. Didukung dengan
percakapan tokoh dalam bahasa setempat, juga dapat menambah sempurna imajinasi
pembaca yang tidak haya mengenai visual tapi juga audio atau suara-suara di
Bandara Internasional Abu Dhabi.
Comments
Post a Comment