Merenung Lewat Cerpen Tahi Lalat Karya M. Shoim Anwar


Postingan ini merupakan sebuah kritik sastra cerpen Tahi Lalat karya M. Shoim Anwar. Sebelum membaca ulasannya, mari kit abaca cerpen tersebut.

TAHI LALAT
Sumber: https://static.picassomio.com

ADA
 tahi lalat di dada istri Pak Lurah. Itu kabar yang tersebar di tempat kami. Keberadaannya seperti wabah. Lembut tapi pasti. Mungkin orang-orang masih sungkan untuk mengatakannya secara terbuka. Mereka menyampaikan kabar itu dengan suara pelan, mendekatkan mulut ke telinga pendengar, sementara yang lain memasang telinga lebih dekat ke mulut orang yang sedang berbicara. Mereka manggut-manggut, tersenyum sambil membuat kode gerakan menggelembung di dada dengan dua tangan, lalu menudingkan telunjuk ke dada sendiri, sebagai pertanda telah mengerti.
“Awas, ini rahasia. Jangan bilang siapa-siapa!” kata Bakrul memulai pembicaraan sambil mendekatkan telunjuknya ke mulut.
“Di sebelah mana?” aku mengorek.
“Di sebelah kiri, agak ke samping,” jawab Bakrul.
“Besar?”
“Katanya sebesar biji randu.”
Mungkin karena keberadaannya sudah lebih jelas, akhirnya orang-orang saling memberi kode ketika berpapasan. Bila mereka sedang bergerombol, dan salah satu sudah memberi kode, yang lain mengacungkan jempolnya sebagai tanda mengerti. Bagi yang kurang yakin, pertanyaan akan langsung diteriakkan saat aku lewat.
Karena tak ingin diteriaki terus, aku mengacungkan jempol. Teriakan itu memicu yang lain untuk keluar rumah, lalu menuju pinggir jalan tempat aku lewat. Sebenarnya aku tak enak juga mendengar ejekan terhadap lurahku, meski waktu pemilihan aku tidak mencoblosnya. Maka, sebelum mereka berteriak, aku mengacungkan jempol terlebih dulu. Tapi karena niatnya mungkin mengejek, teriakan mereka pun bertambah santer.
Suara truk pengangkut material untuk pembangunan perumahan menderu-deru di jalan depan rumah yang rusak parah. Debu-debu itu sering dikeluhkan oleh anakku, Laela, setiap pulang sekolah. Entah mengapa Pak Lurah dan perangkatnya tak peduli dengan situasi itu. Pak Lurah justru tampak akrab dan sering keluar bareng dengan mobil pengembang perumahan itu.
“Di luar sana juga ada omongan soal kedekatan istri Pak Lurah dengan bos proyek perumahan,” aku membuka pembicaraan dengan istri.
“Kedekatan yang gimana lagi?” istriku mendongak.
“Bos proyek itu sering datang saat Pak Lurah tidak ada di rumah. Katanya juga pernah keluar bareng.”
Bulan depan adalah masa pendaftaran calon lurah atau kepala desa di sini. Konon Pak Lurah akan mencalonkan kembali untuk periode berikutnya. Tak ada yang bisa mencegahnya meski janji-janjinya yang dulu ternyata palsu.
“Ada unsur politik juga kayaknya,” kataku pada istri.
“Mengapa istri diikut-ikutkan?” dia mendongak.
“Citra perempuan lebih sensitif untuk dimainkan.”
“Pak Lurah telah menceraikan istrinya yang pertama. Ini istri kedua. Andai tetap dengan Bu Lurah yang dulu, tak akan tersiar kabar kayak begini.”
“Bisa jadi berita itu datangnya dari suaminya yang dulu.”
“Lo, Bu Lurah yang sekarang itu masih perawan. Selisih umurnya katanya dua puluh tahun,” istriku menegaskan sambil menyambut Laela yang baru pulang sekolah.
Pak Lurah tak pernah berkomentar atas pembicaraan yang menyangkut istrinya. Kami memilih diam ketika dia lewat. Ini berbeda ketika yang lewat istrinya. Orang-orang mendehem, pura-pura batuk ketika ada istri Pak Lurah, tersenyum dan menyapa basa-basi. Tapi, dari arah belakang, mereka membuat isyarat gerakan gelembung di dada, kemudian menuding-nudingkan telunjuk ke dada sebelah kiri.
Jujur kukatakan, Pak Lurah juga sering menggunakan cara-cara kotor. Selama menjabat, tidak sedikit warga yang kehilangan sawah ladang dan berganti dengan perumahan mewah. Warga yang tinggal di tempat strategis, melalui perangkat desa Pak Bayan, dirayu untuk menjual tanahnya dengan harga yang lumayan mahal. Begitu tanah-tanah yang strategis itu terlepas dari pemiliknya, Pak Lurah semakin gencar membujuk yang lain dengan cara memanggilnya ke kantor kelurahan.
“Kalau tidak mau menjual, akan dipagari oleh pengembang perumahan,” begitulah kata-kata intimidasi yang sering dilontarkan Pak Bayan kepada warga.
“Lama-lama desa ini habis terjual,” kataku pada Pak Bayan.
“Habis gimana?” jawab Pak Bayan enteng.
“Bilang sama Pak Lurah,” aku melanjutkan, “mestinya kehidupan kami diperbaiki agar makmur. Diciptakan lapangan kerja baru. Bukan mengancam agar rakyat menjual tanahnya kayak kompeni.”
“Kalau ada perumahan, pasti warga dapat kesempatan kerja.”
“Jadi kuli dan babu!” aku menyergah.
Aku yakin, warga asli sini kelak akan jadi buruh pembersih rumput dan tukang sapu di wilayah perumahan. Sambil duduk di tanah, mereka menatap rumah-rumah mewah, dengan badan kurus kurang gizi dan napas kembang kempis digerogoti usia, mereka akan menuding sambil berkata, “Itu dulu tanah milik saya. Batasnya dari sana hingga ke sana. Luaaas sekali….”
Semakin mendekati masa pendaftaran calon lurah, berita adanya tahi lalat di dada istri Pak Lurah semakin santer. Bumbu-bumbu pembicaraan makin banyak. Pembicaraan tidak hanya tertumpu pada tahi lalat di dada istri Pak Lurah, tapi meluas hingga sekujur tubuh istri Pak Lurah ditelanjangi.
Aku yakin Pak Lurah dan istrinya sudah mencium kasak-kusuk di sekitarnya. Mungkin untuk mengamankan pencalonannya kembali sebagai lurah, dia sengaja memilih diam dengan harapan pembicaraan itu akan menghilang dengan sendirinya. Tapi, dengan sikap diamnya itu, aku curiga jangan-jangan pembicaraan itu benar adanya. Kata-kata ‘diam pertanda setuju’ hadir dalam pikiranku. Memang, Pak Lurah dan istrinya serba salah. Apa pun yang dikatakannya dijamin tidak akan dapat meyakinkan tanpa bukti fisik.
“Apa tidak mungkin jika salah seorang ibu PKK diminta mendekati Bu Lurah?” kataku pada istri.
“Untuk apa?”
“Menanyakan kepastian ada tidaknya tahi lalat itu.”
“Terus kalau tidak ada mau apa?”
“Ya biar jelas dong,” jawabku pura-pura lega.
“Terus kalau benar-benar ada?” istriku mengejar lagi.
“Orang-orang akan puas,” aku bergaya manggut-manggut. “Akhirnya mereka kan berhenti ngrasani.”
“Ehmm, untuk apa!” istriku melengos.
Dari awal aku sudah punya pikiran bahwa pembicaraan itu punya maksud lebih besar. Tidak penting apakah di dada istri Pak Lurah ada tahi lalatnya atau tidak. Di sebelah kiri atau kanan juga tak penting. Sebesar biji randu atau sebesar kelapa pun tak masalah. Yang sangat rawan adalah, bila benar-benar ada, kok sampai ada yang tahu? Siapa pun yang mengetahui tahi lalat di tempat rahasia itu pasti dia adalah orang yang punya hubungan khusus dengan istri Pak Lurah. Bila ditafsirkan lagi, perempuan itu sudah menjadi istri Pak Lurah saat menjalin hubungan khusus dengan orang tadi.
Siang yang terik. Truk-truk pengangkut material menderu-deru melewati kampung kami untuk menguruk sawah warga yang telah terbeli. Jalan makin rusak parah. Aku berjalan menyisir di tepi kanan. Dari arah berlawanan tampak mobil Jeep hitam berhenti. Sepertinya telah lama. Beberapa saat muncul Pak Bayan dari arah yang sama. Lelaki itu memacu motornya agak kencang. Kami berpapasan. Pak Bayan tak berkata apa-apa.
Jeep yang tadi berhenti tampak bergerak. Sepertinya gas ditancap sehingga melaju terguncang-guncang di jalan yang bergeronjal. Debu-debu membalutnya. Terasa ada yang aneh. Kendaraan itu melaju makin kencang di sisi kanan. Ternyata Jeep itu menggasakku. Spontan aku meloncat ke seberang parit. Aku tak tahu siapa pengendaranya. Cuk! Tubuhku terjatuh ke rumpun bambu. Duri-duri tajam menancap di sana-sini. Aku berdarah-darah.
Sampai di rumah aku masih tak habis pikir, setan keparat mana yang mengendarai Jeep tadi. Aku mengumpat-ngumpat sendiri. Dari arah depan terdengar suara Laela pulang dari sekolah. Dia setengah berlari menghampiri aku dan ibunya.
“Gambarku bagus, ya?” Laela menyodorkan buku gambarnya yang terbuka.
“Gambar apa ini?” aku bertanya sambil menerimanya.
“Orang.”
Anak perempuanku, kelas dua sekolah dasar, menggambar orang dengan rambut sepundak. Wajah dan tubuhnya diberi warna cokelat kekuningan. Bibirnya dibuat merah menyala.
“Ini orang laki apa perempuan?”
“Perempuan,” ia menunjuk ke gambarnya. Dada gambar itu memang dibuat kayak ada belahannya dengan disanggah angka tiga menghadap ke atas.
“Terus titik besar berwarna hitam ini apa?”
“Itu tahi lalat,” jawab anakku enteng.
“Tahi lalat apa?”
“Tahi lalat di dada istri Pak Lurah.”
“Haaa…??!!!” aku heran dan terhenyak. Istriku juga tampak terbengong-bengong. Kami saling memandang. Tak bicara apa-apa. Entah bagaimana ceritanya Laela tiba-tiba menunjukkan gambar perempuan yang bertahi lalat di dadanya. Persis gunjingan yang hari-hari ini kami dengar.
“Ini tahi lalat di dada istri Pak Lurah…” kembali anakku menuding gambar yang telah dibuatnya. Kami hanya tersenyum. Kecut dan heran.

          Sesuai dengan judulnya, cerpen ini berkisah mengenai gosip yang sedang marak di lingkungan desa mengenai istri Pak Lurah yang memiliki tahi lalat di dada bagian kirinya. Gosip tersebut dengan sangat cepat menyebar padahal masih abu-abu kebenarannya. Singkat cerita, karena terlalu seringnya tokoh utama memperbicangkan gosip tersebut tanpa melihat situasi dan kondisi, akhirnya ia mendapatkan masalah yakni anaknya mampu menggambar sosok Bu Lurah lengkap dengan tahi lalat di dadanya sesuai imajinasi yang bersumber dari obrolan orang tuanya. Sebagai orang tua, tokoh utama merasa tercengang dengan gambar yang dibuat anaknya.
Lewat cerita pendek berjudul Tahi Lalat ini, M. Shoim Anwar kembali menghadirkan isu sosial dalam dunia fiksi. Isu yang diangkat dalam cerpen ini yakni terkait politik dan parenting. Pengangkatan isu tersebut membuat cerpen ini tidak hanya layak dibaca, namun juga patut untuk direnungkan.
Unsur politik ditunjukkan dengan perlakuan Pak Lurah yang semenah-menah terhadap warga kampungnya. Ia memaksa warga menjual lahannya untuk dibuat perumahan. Terlebih hal ini dilakukan menjelang pendaftaran calon lurah untuk pemilihan lurah di periode selanjutnya. Hal ini dapat dilihat dengan jelas bahwa penulis ingin menggambarkan praktek politik kotor yang dilakukan Pak Lurah. Hal tersebut tersaji salah satunya dalam kutipan berikut.
Jujur kukatakan, Pak Lurah juga sering menggunakan cara-cara kotor. Selama menjabat, tidak sedikit warga yang kehilangan sawah ladang dan berganti dengan perumahan mewah. Warga yang tinggal di tempat strategis, melalui perangkat desa Pak Bayan, dirayu untuk menjual tanahnya dengan harga yang lumayan mahal. Begitu tanah-tanah yang strategis itu terlepas dari pemiliknya, Pak Lurah semakin gencar membujuk yang lain dengan cara memanggilnya ke kantor kelurahan.
“Kalau tidak mau menjual, akan dipagari oleh pengembang perumahan,” begitulah kata-kata intimidasi yang sering dilontarkan Pak Bayan kepada warga.
          Beberapa hal yang perlu kita renungi dari cerpen ini pertama yakni perihal cara penyebaran gosip tahi lalat tersebut. Cerpen ini telah menggambarkan bagaimana cara kerja berita hoaks. Berita hoaks menyebar begitu cepat karena orang-orang yang terlalu tergesa-gesa menyebarluaskan tanpa mencari dulu kebenaran berita. Inilah yang perlu kita renungi, terutama bagi kita generasi milenial. Pada era ini, informasi sangat mudah didapat entah informasi tersebut benar atau hanya hoaks. Oleh karena itu, sebagai generasi milenial yang cerdas, hendaknya kita tidak melakukan penyebaran berita yang masih buram agar tidak terjadi seperti apa yang terkisahkan dalam cerpen ini.
          Kedua, yang perlu kita renungi yakni kelalaian kita sebagai orang tua yang sering tidak memperhatikan keberadaan anak. Masa anak-anak merupakan masa penyerapan informasi, sehingga segala apa yang dilihat dan didengar anak-anak hendaknya hal-hal yang positif sehingga tumbuh kembang anak dapat sangat baik.
          Tokoh utama terus saja bergunjing mengenai kabar burung yang sedang hangat di desanya, tanpa peduli bahwa anaknya sudah pulang sekolah. Hal ini terlihat pada kutipan berikut.
         “Lo, Bu Lurah yang sekarang itu masih perawan. Selisih umurnya katanya dua puluh tahun,” istriku menegaskan sambil menyambut Laela yang baru pulang sekolah.
Karena kelalaian tersebut, sehingga anak yang masih kelas dua SD mampu menggambar sosok perempuan dengan dada bertahi lalat dan menamai gambar tersebut sebagai Bu Lurah.
          Secara keseluruhan, cerita ini memang menarik dan menciptakan peringatan bagi kita untuk berhati-hati dalam menerima informasi dan berhati-hati dalam bersikap di hadapan seorang anak. Kepiawaian penulis dalam memili diksi yang membumi juga membuat cerpen ini memiliki karakter sesuai latar dalam cerpennya: pedesaan sederhana yang mencoba mempertahankan kesederhanaannya yang mulai digerus tuntutan zaman.
         

Comments

Sering Dibaca

Pindah

Pemeran Sinta

Catatan Perjalanan dan Itinerary ke Nusa Lembongan, Nusa Ceningan, dan Nusa Penida Tahun 2018

Antara Apsari dan Grahadi